Total Tayangan Halaman

Minggu, 23 Desember 2012

Sejarah Keraton Sumenep Sebagai Icon Madura


Bak potret raksasa dalam sebuah bingkai histori. Bangunan megah berdiri dengan nuansa yang khas menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di kawasan seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat Pendopo Agung dengan ornamen khas berlatar bangunan tua yang tak kalah gagah memancarkan kharisma. Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya, menambah kokoh dan sakral nuansa yang terpancar dari warisan para raja yang dulu pernah berkuasa.
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep setelah berubah secara birokrasi dan mulai dipimpin oleh seorang bupati setelah masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879) menganggap warisan sisa masa keemasan itu sebagai sebuah kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
Bangunan-bangunan di kawasan keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada bagian belakang, menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, berlawanan dengan keraton. Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk acara rapat-rapat para aparat pemerintahan, hingga pagelaran seni dan budaya setempat.
Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya bagian lantai yang telah dirubah karena rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih dari dua abad pernah dilakukan perbaikan namun hanya pada bagian gentingnya. Selain itu pengecatan tetap dilakukan pada bagian dinding agar tetap kelihatan cerah.
Bangunan utama keraton terdiri dari dua lantai. “Lantai atas merupakan tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum datangnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab Museum Keraton Sumenep. Menurut pria 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai bawah terdapat empat kamar yang masing-masing diperuntukkan untuk kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang tua pria dan orang tua perempuan raja.
Secara umum gaya arsitektural Keraton Sumenep merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China. Gaya Eropa tampak pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China bisa dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil ukiran bergambar Burung Hong, yang konon merupakan lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada pilihan warna Merah dan Hijau.
Salah seorang arsitek pembangunan keraton bernama Lauw Piango, yang setelah meninggal di kebumikan di sekitar Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) adalah pria berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang saat pembangunan keraton adalah orang China, bernama Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan.
Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah. Konon pada masa awal yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. lalu keraton juga pernah pindah ke daerah Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460).
Beberapa daerah lain juga diindikasi sebagai keraton Sumenep, seperti Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan daerah lain sebelum akhirnya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang. Di Desa Pajagalan yang merupakan warisan sejak raja, yaitu Panembahan Somala dan enam raja berikutnya.
Panembahan Somala berinisiatif membangun katemenggungan atau kadipaten ini setelah selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi.
Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, sisi Timur adalah Taman Lake’, ini menurut Romli, masih merupakan anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekitar keraton. Sayang, tempat ini sekarang sudah ditutup karena difungsikan sebagai sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang. Dan sisi Barat hingga bagian belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang.
Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam bahasa Indonesia berarti Lama. Masjid Jami’ sebelumnya merupakan masjid keraton yang eksklusif untuk raja dan kalangan kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum.
Pagar keraton yang ada sekarang adalah peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi lebih dari dua meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton, tepat di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga sebagai Monumen bukti sejarah Keraton Sumenep.
Bangunan yang dipakai kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu sebenarnya bukan bagian dari keraton, dulu dikenal dengan sebutan Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep. Bangunan bergaya Eropa ini didirikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air. Kehadiran gedung tepat di depan keraton itu memang mengganggu kharisma keraton secara keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang.
(sumber : sejarah sumenep )

MUSKERNAS III & PERUMUSAN NDP PMII

Musyawarah Nasional merupakan salah satu forum permusyawaratan dalam PMII sebagaimana di atur dalam AD/ART Bab VI Pasal 8 Ayat 3. Sampai pada periode kepemimpinan sahabat Abduh Padare, PB PMII telah melaksanakan mukernas sebanyak tiga kali. Yang pertama diadakan pada tanggal 21 – 26 Nopember 1967 di Jakarta, yang kedua diadakan  di Semarang jawa tengah, dan yang ketiga didadakah di Bandung Jawa Barat pada tanggal 1 – 5 Mei 1976. Forum Musyawarah Nasional III ini memutuskan hal-hal sebagai berikut :
  • Penyusunan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan PMII
  • Penyusunan Pola Dasar Perjuangan PMII
  • Rumusan Garis-Garis Besar Pembinaan Organisasi
  • Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pemilu
    1)     Penyusunan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan PMII.
    Seperti kita ketahui bahwa PMII berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama’ah (kini Pancasila) dalam setiap gerak langkahnya harus dimotivisir oleh nilai-nilai Ahlussunnah Wal-Jama’ah tersebut. Tetapi nilai-nilai itu bagi warga pergerakan khususnya masih banyak berserakan dalam kitab-kitab kuning maupun tersimpan dalam benak para Ulama yang menjadi panutan PMII. Tentu saja hal ini akan menyulitkan warga pergerakan yang masih awam terhadap nilai-nilai Aswaja, disamping menyulitkan rujukan penyusunan langkah kerjanya.
    Adanya dilema ini, apalagi setelah menyatakan diri sebagai organisasi Independen, maka rekrutmen anggota tidak lagi melalui pendekatan ideologi maupun kultural historis, tetapi memakai pendekatan program. Konsekwensi dari pendekatan ini terjaringnya anggota PMII yang sama sekali belum, bahkan tidak berlatar belakang Aswaja. Pada gilirannya hal ini akan dapat membahayakan kederisasi dan fanatisme berorganisasi. Maka untuk mengatasi persoalan ini, Musyawarah Nasional III PMII menyusun kerangka nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) PMII sebagai berikut :
    a)     Urgensi NDP Bagi PMII
    Sejalan dengan tahapan perkembangan dan pertumbuhan PMII di masa kini dan Mendatang, terdapatnya penjabaran yang jelas dari azas organisasi PMII yaitu Islam yang berhaluan Aswaja dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera dirumuskan. NDP PMII tersebut dibutuhkan dalam kerangka memberi arah dan motivasi, memimpin tingkah laku warga pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenaran terhadap apa yang akan dan mesti dilakukan untuk mencapai tujuan perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini.
    b)    Posisi NDP PMII
    Islam sebagai keyakinan mutlak bagi segenap warga PMII menempati posisi tertinggi di dalam memberikan tuntunan hidup dan kehidupan. Sementara itu, Aswaja sebagai metode penghayatan/pemahaman ajaran Islam tersebut, merupakan hasil penyerapan dari keduanya. NDP PMII adalah pilihan terbaik untuk keduanya, menuju perwujudan cita-cita pergerakan.
    c)     Pengertian NDP PMII
    Yang dimaksud dengan NDP PMII adalah suatu kebulatan tekad, pandangan yang secara sistematis merupakan cermin dari keyakinan Islam yang berhaluan Aswaja untuk memberikan alas pijak dalam memberikan arah tingkah laku PMII sebagai suatu kelompok sosial untuk mencapai cita-cita perjuangan.
    d)    Kerangka Permasalahan NDP PMII
    Dalam rangka keperluan perumusan NDP PMII, disusunlah kerangka permasalahan sebagai berikut :
     1.     Mukaddimah
    2.     Dimensi hubungan Manusia dengan Tuhan

    3.     Dimensi hubungan Manusia dengan manusia

    4.     Dimensi hubungan Manusia dengan Alam

    5.     Dimensi masalah dengan Ilmu Pengetahuan

    6.     Kesimpulan.

     
    Selanjutnya penyusunan kerangka dasar NDP PMIIini diserahkan kepada tim yang bertanggung jawab kepada PB PMII, namun sayang, disebabkan kelemahan-kelemahan mekanisme kerja dan faktor-faktor lain, hingga kongres PMII ke VIII di Bandung Jawa Barat, penyusunan NDP PMII tersebut belum dapat diwujudkan.
    2)     Penyusunan Pola Dasar Perjuangan PMII
    Pola Dasar Perjuangan PMII merupakan landasan perjuangan atau dapat dikatakan sebagai GBHN-nya PMII. Bagi PMII sendiri tersusunnya PDM PMII merupakan hal yang baru, mengingat pada masa-masa sebelumnya PMII tidak memiliki landasan perjuangan yang bersifat baku dan operasional kecuali pokok-pokok pikiran yang lebih dekat pada nilai-nilai teoritis filosofis. Secara garis besar Perjuangan PMII memuat:
    a)      Pengertian
    b)      Hakekat perjuangan
    c)      Arah dan sasaran perjuangan PMII
    d)     Ruang lingkup Perjuangan PMII
    e)      Pola dasar operasional perjuangan PMII
    3)     Rumusan Garis-Garis Besar Pembinaan Organisasi
    Jika dalam pola dasar perjuangan PMII lebih menitik beratkan pada perjuangan PMII yang bersifat ekstern, atau dikenal dengan istilah partisipasi, maka garis-garis besar pembinaan orgainsasi ini lebih menekankan diri pada pijakan organisasi dalam rangka konsolidasi organisasi atau pengkaderan. Secara garis besar isi dari GBPO ini adalah sebagai berikut:
     a. Masalah Pengkaderan
    Permasalahan ini menyangkut masalah pengkaderan, baik itu pernyataan yang berisi bahwa pengkaderan harus memperoleh prioritas dalam aktivitas programnya, pendekatan yang digunakan, maupun orientasi dari pengkaderan itu sendiri serta pedoman/petunjuk pelaksanaan pengkaderan yang dipergunakan.
     b.     Masalah Kepemimpinan
    Kepemimpinan yang diharapkan PMII adalah kepemimpinan yang harus mampu memnjiwai sifat pergerakan, yakni kekeluargaan, kemahasiswaan, kemasyarakatan dan Independen. Sejalan dengan sifat-sifat organisasi tersebut kepemimpinan PMII dituntut untuk senantiasa responsif dan argumentatif serta dukehendaki pula adanya keterbukaan untuk regenerasi seluas-luasnya.
    c.      Pembentukan Wadah Alumni
    Untuk meningkatkan partisipasi aktif paraalumni, Mukernas III PMII memutuskan membentuk wadah Alumni yang dinamakan “Keluarga Alumni PMII”. Pembentukan wadah itu ternyata mengalami hambatan, sehingga sampai dengan pelaksanaan kongres PMII yangke VIII, wadah ini belum menampakkan hasil yang diharapkan. Suatu analisa, bahwa hal itu dikarenakan adanya jurang pemisah antara alumni yang berorientasi ideologis dengan mereka status, sehingga diantara mereka masih terasa sulit untuk dijembatani, suatu pertautan kembali seperti ketika mereka hidup dalam satu wadah pergerakan.
    d.     Langkah-langkah Rekrutmen Anggota Baru
    Langkah inilebih mengarah pada rekrutmen anggota baru yang berlatar belakang keluarga santri intelektual disamping pada cara tradisional PMII, yang memang selalu bersumber pada keluarga santri pedesaan.
    e.      Usaha Pencarian Sumber Dana
    Musyawarah Nasional III berhasil merumuskan, baik secara komersial maupun secara tradisional yang dikaitkan dengan pengembangan pergerakan.
     4)     Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pemilu
    Menghadapi pemilihan umum ketiga (1977, Musyawarah Nasional III berhasil memutuskan pokok-pokok pikiran  berkenaan dengan akan dilaksanakannya pemilu 1977. Pokok-pokok pikiran dimaksud, selengkapnya adalah sebagai berikut :
  • Pemilihan umum bagi warga pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan peristiwa Penting dan dihormati, yang pelaksanaannya harus mampu mencerminkan sepenuhnya aspirasi rakyaatIndonesia.
  • Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berpendapat bahwa pemilu adalah sarana untuk menciptakan suatu sistem kenegaraan dengan sebuah pemerintahan, ialah suatu negara hukum yang demokratis. Karena itu pemilu 1977 harus mampu berdiri diatas prinsip-prinsip tersebut dengan melaksanakan aturan permainan yang telah disepakati.
  • Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia memandang bahwa fungsi pemilu harus betul-betul dihayati sebagai suatu keseimbangan antara sarana sosialisasi politik, sarana demokratisasi, dan sarana legitimasi. Sarana sosialisasi politik adalah menjadikan pemilu sebagai wadah pendidikan politik bagi warga negara Indonesia, sehingga mereka mampu menjadi warga negara yang memahami hak dan kewajibannya. Sarana demokratisasi, yakni sebagai wadah penyaluran kehendak yang sebenarnya dari bangsa Indonesia. Sedangkan sarana legitimasi adalah proses pemberian kekuasaan yamng sah bagi kekuatan yang memperoleh kemenangan dalam pemilu.
  • Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia akan berpartisipasi dalam pemilu 1977 dengan mengutanakan tujuan-tujuan luhurnya daripada pencapaian kemenangan yang sifatnya praktis dan sementara serta mampu mewujudkan proses regenerasi kepemimpinan bangsa.
Sumber: PMII Dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan

MAKALAH Titik Temu Antara Muhammadiyah Dengan NU



KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “TITIK TEMU ANTARA MUHAMMADIYAH DENGAN NU” judul ini saya pilih karena mempunyai rasa ingin mengetahu apa yang ada di Muhammadiyah serta apa yang ada di NU itu sendiri.
Saya ucapkan banyak terima kasih kepada bapak dosen yang telah memberikan tugas ini serta mentransformasikan ilmunya kepada saya, sehingga saya mempunyai keilmuan dan wawasan  yang baru.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan Makalah ini.


Malang, 25  Desember 2012

                                                                                           
                                                                                            Penyusun





BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi islam terbesar di Indonesia dengan mengantongi jumlah massa masing-masing puluhan juta. keduanya mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial keagamaan yang disegani. Yang pertama sering disebut oleh para pengamat sejarah sebagai sebuah organisasi yang mewakili golongan muslim tradisional, sedang yang kedua sering dikatakan sebagai perkumpulan yang mewakili muslim modernis. Kalau NU lahir pada 31 januari 1926, maka Muhammadiyah lahir lebih awal empat belas tahun, yaitu pada 18 nopember 1912.
Melihat kematangan usianya yang telah melebihi usia kemerdekaan Republik Indonesia, keduanya jelas memiliki pengalaman interaksi dengan lanskap sejarah keindonesiaan yang lengkap dan utuh. Keduanya merupakan organisasi tujuh zaman (istilah Mas Surya Paloh). Keduanya sama-sama pernah menjalani masa penjajahan Belanda, Pendudukan Jepag, Revolusi Kemerdekaan, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, Dan Sekarang Era Reformasi.
Dilihat dari sudut historitasnya, keduanya telah berperan cukup besar bagi kelangsungan eksistensi Indonesia, tentunya dengan mengecualikan fase-fase tertentu dimana langit-langit politik memang tak memberikan peluang bagi keduanya untuk tampil sebagai pemain garda depan. Dan dengan tipologi yang dimiliki masing-masing keduaya telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pengisian nilai-nilai religius kedalam lokus keindonesiaan.
Pada optik itulah, koinsidensi historis NU-Muhammadiyah yang terjadi ini memiliki makna penting. Setelah melalui perjalanan panjang dengan segala suka dan dukanya, maka kebersamaan waktu antara sidang tanwir Muhammadiyah dan ulang tahun NU ke-76 inipun bisa dijadikan sebagai titik pijak untuk mengoptimalkan secara serius (bukan semu) era keduanya dalam konteks sosio-kultural. NU dan Muhammadiyah kini perlu untuk menfokuskan dan mengorientasikan diri pada kerja-kerja kultural secara lebih maksimal.
Optimalisasi kerja kultural itu dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam lima bentuk. Pertama, baik NU maupun Muhammdiyah secara kelembagaan tidak perlu lagi menempatkan politik sebagai kepentingan tujuan yang dominan. NU dengan koredornya “kembali ke Khithaah 1926” dan Muhamadiyah dengan slogannya “High politics” atau “politik luhur”, perlu semakin dimantapkan sebagai visi  dan cita pergerakan kultural, tanpa perlu terjebak pada pemenuhan kepentingan-kepentingan politik yang bersifat jangka pendek, tentatif, dan sesaat. Keduanya mesti mengkonsentrasikan gerakannya pada penggarapan masalah sosial keagamaan, yang beberapa waktu lalu sempat terhenti akibat gonjang-ganjing politik nasional yang telah memecah konsentrasi sebagian besar para petinggi kedua organisasi ini. Sekarang tiba saatnya keduanya untuk bisa bekerja sama dalam jalur-jalur pergerakan kultural.
1.2         Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.      Bagaimana Sejarah Berdirinya Muhammadiyah ?.
2.      Bagaimana sejarah berdirinya NU ?.
3.      Apa perbedan antara NU dan Muhammadiyah?
4.      Bagaimana titik temu antara NU dan Muhammadiyah?
1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan makalah sebagai berikut:
1.  Untuk Mengetahui Sejarah Berdirinya Muhammadiyah ?.
2.      Untuk Mengetahui Sejarah Berdirinya NU ?.
3.      Untuk Mengetahui Perbedan Antara NU dan Muhammadiyah?
4.      Untuk Mengetahui Titik Temu Antara NU dan Muhammadiyah?




1.4 Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan diatas maka manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Penulis dapat mengetahui sejarah berdirinya NU dan Muhammadiyah.
2.      Penulis dapat mengetahui perbedaan antara NU dan Muhammadiyah.
3.      Penulis dapat mengetahui titik temu antara NU dan Muhammadiyah.

























BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
            Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan dengan 18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KH Ahmad Dahlan.
            Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
            Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
            Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
Disamping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau telah mendirikan Sekolah Dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namanya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namanya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat.
Suatu ketika KH.Ahmad Dahlan menyampaikan usaha pendidikan setelah selesai menyampaikan santapan rohani pada rapat pengurus Budi Utomo cabang Yogyakarta. Ia menyampaikan keinginan mengajarkan agama Islam kepada para siswa Kweekschool Gubernamen Jetis yang dikepalai oleh R. Boedihardjo, yang juga pengurus Budi Utomo. Usul itu disetujui, dengan syarat di luar pelajaran resmi. Lama-lama peminatnya banyak, hingga kemudian mendirikan sekolah sendiri. Di antara para siswa Kweekschool Jetis ada yang memperhatikan susunan bangku, meja, dan papan tulis. Lalu, mereka menanyakan untuk apa, dijawab untuk sekolah anak-anak Kauman dengan pelajaran agama Islam dan pengetahuan sekolah biasa. Mereka tertarik sekali, dan akhirnya menyarankan agar penyelelenggaraan ditangani oleh suatu organisasi agar berkelanjutan sepeninggal K.H. Ahmad Dahlan kelak.
Setelah pelaksanaan penyelenggaraan sekolah itu sudah mulai teratur, kemudian dipikirkan tentang organisasi pendukung terselenggaranya kegiatan sekolah itu. Dipilihlah nama "Muhammadiyah" sebagai nama organisasi itu dengan harapan agar para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai dengan pribadi Nabi Muhammad saw. Penyusunan anggaran dasar Muhamadiyah banyak mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu Kweekschool Jetis. Rumusannya dibuat dalam bahasa melayu dan Belanda. Kesepakatan bulat pendirian Muhamadiyah terjadi pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Zulhijah 1330 H. Tgl 20 Desember 1912 diajukanlah surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar perserikatan ini diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Setelah memakan waktu sekitar 20 bulan, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum, tertuang dalam Gouvernement Besluit tanggal 22 Agustus 1914, No. 81, beserta alamporan statuennya.
Muhammadiyah juga mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934. Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
2.2. Sejarah Berdirinya NU
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana – setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bidah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.























2.3 Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah
MASALAH
NU
MUHAMMADIYAH
Aqidah (Keduanya masih dalam bingkai Ahlu sunnah)
Mengikuti paham Asy’ariyah/Maturidiyah
Mengikuti paham salaf/wahabi* (Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim)
Fiqih
Keharusan mengikuti salah satu madzhab
Langsung kepada Alqur’an dan Sunnah, dan Tarjih(memilih pendapat yang terkuat)
Tasawwuf/thariqah
Menerima tasawwuf, dan thariqah yang mu’tabar(diakui)
Menolak tasawwuf dan thariqah(tetapi banyak yang apresitif secara individual dan selektif, missal HAMKA dengan tasawwuf modernya)
Pemikiran y`ng dominan
Pemikir Klasik: Asy’ari, Al-Ghazali dan Nawawi, dan lain-lain
Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
Bicara masalahs perbedaan antara dua organisasi islam yaitu NU dan muhammadiyah jelasnya sangat berbeda, baik itu cara berfikirnya ataupun dalam penganmbilan keputusan hukum.Bahkan kalau dalam masyaratak pedesaan ia lebih cendrung mengikuti pada hNU, kalau diperkoataan masih stabil antara NU dan muhammadiyah. Bentuk perbedaan anatara kedua tersebut diantara salah satunya adalah dalam pembacaan do’a  qunut dalam shalat, dan meminimalisir suara agar untuk tidak nyaring dalam bacaan basmalah pada surat fatihah ketika shalat dan dzikir ketika selesai shalat. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada table dibawah ini.



2.3. Titik Temu antara NU dan Muhammadiyah
Muhammadiyah dan NU adalah organisasi bukan masalah fiqih. Hanya dalam konteks Indonesia Muhammadiyah dan NU adalah mewakili dua golongan besar ummat islam secara fiqih juga. Muhammadiyah mewakili kelompok “modernis”(begitu ilmuan menyebut), yang sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip seperti Persis(Persatuan Islam), Al-irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul Ulama) mewakili Kelompok “tradisional”, selain Nahdhatul Wathan, Jami’atul Washliyah, Perit dan lain-lain.
Kedua organisasi memiliki berbagai pebedaaan pandangan. Dalam masyarakat perbedaan paling nyata adalah dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhammadiyah melarang (bahkan membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang NU mensunnahkan , bahkan masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud sahwi, dan berbagai masalah lain. Alhadulillah perbedaan pandangan ini sudah tidak menjadikan pertentangan lagi, karena kedewasaan dan toleransi yang besar dari keduanya.
Pandangan antara keduanya memang berasal dari “madrasah”(school of thought)  berbeda, yang sesungguhnya sudah sangat lama. Muhammadiyah (lahir 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf (yang literalis) seperi Ibnu Taimiyyah, Muhamad Abdul Wahab. Wacana pemikran modern misalnya membuka pintu ijtihad kembali ke al-qur’an dan sunnah, tidak boleh taqlid, menghidupkan pemikiran islam.
Sedang wacana salaf adalah bebaskan takhayyul, bid’ah, dan khurafat (TBC). Tetapi dalam perkembangan yang dominan terutama di grass rootnya adalah wacana salaf. Sehingga Muhammadiyah sangat bersemangat dengan tema TBC. Yang menjadi masalah, banyak kategori TBC tersebut justru diamalkan dikalangan NU, bahkan di anggap sunnah. Karena sifatnya yang dinamis, praktis, dan rasional, Muhammdiyah diikuti kalangan terdidik dan masyarakat kota.
Disisi lain NU (Nahdhatul Ulama), didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari, 1926, lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU lebih nampak dipedesaan.
Sebenarnya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika bergaung pemikiran Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dan mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru kritis terhadap pemikiran mereka.
Berikut secara ringkas perbadaan pandangan antara keduanya:
MASALAH
NU
MUHAMMADIYAH
Aqidah (Keduanya masih dalam bingkai Ahlu sunnah)
Mengikuti paham Asy’ariyah/Maturidiyah
Mengikuti paham salaf/wahabi* (Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim)
Fiqih
Keharusan mengikuti salah satu madzhab
Langsung kepada Alqur’an dan Sunnah, dan Tarjih(memilih pendapat yang terkuat)
Tasawwuf/thariqah
Menerima tasawwuf, dan thariqah yang mu’tabar(diakui)
Menolak tasawwuf dan thariqah(tetapi banyak yang apresitif secara individual dan selektif, missal HAMKA dengan tasawwuf modernya)
Pemikiran yang dominan
Pemikir Klasik: Asy’ari, Al-Ghazali dan Nawawi, dan lain-lain
Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
*Istilah wahabi diberikan oleh kelompok lain, meraka sendiri lebih menyukai disebut muwahhdin(orang yang mengesakan).
            Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah di seputar ibadah, sesungguhnya tidak masuk hal yang bersifat prinsip. Perbedaan itu misalnya, dalam jumlah raka’at dalam shalat taraweh, menggunakan qunut dan tidak, mengawali ushalli dalam mengawali shalat atau tidak, shalat hari raya dimasjid atau dilapangan, shalat jumat menggunakan adzan sekali atau dua kali, pakai kopiah atau tidak dan lain sebagainya.
            Diluar peribadan itu masih ada perbedaan lain, misalnya orang NU suka kenduri sedangkan orang Muhammadiyah tidak mau mengundang tetapi mau diundang. Kesediaan menghadiri undangan kenduri bagi Muhammadiyah lantas juga melahirkan kritik dari orang NU, misalnya orang Muhammadiyah mau diberi akan tetapi tidak mau memberi.
            Perbedaan paham keagamaan tersebut menjadikan masyarakat terprakmentasi secara tajam. Akan tetapi , sebagaimana masyarakat desa pada umumya, masih memiliki lembaga yang mampu menyatukan di antara kelompok-kelompok itu. Misalya, peristiwa pernikahan, khitanan, kematian, kegiatan desa yang terkait dengan pemerintahan dan sejenisnya. Betapun tajamnya perbedaan itu tetapi dengan mudah dapat disatukan kembali.
            Perbedaan pandangan itu, biasanya dilontarkan dalam bentuk sindiran dan bahkan juga ejekan. Sindiran atau ejekan kelompok lain, jika dimaksudkan sebagai cara dakwah untuk membangun kesadaran orang lain, sesungguhnya justru kontra produktif. Sindiran atau ejekan itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kebencian. Dan seseorang yang dibuat benci tidak akan mengikuti pikiran, apalagi jejak langkah orang yang melontarkan kritik dan ejekan itu. Oleh karena itu, saya kira perkembangan dakwah Muhammadiyah yang tidak terlalu berhasil dengan cepat sebagai salah satu sebabnya adalah cara dakwahnya dilakukan dengan melalui kritik-kritik itu.
            Mengikuti konsep yang akhir-akhir ini yang dilontarkan oleh beberapa angota pimpinan pusat Muhammadiyah tentang dakwah kultural, mungkin itu tepat dijalankan. Saya berkeyakinan, andaikan Muhammadiyah menggunakan pendekatan kultural, dan tidak melakukan pendekatan menang kalah sebagaimana yang banyak dilakukan pada saat itu, maka paham ini tidak akan menemui eksistensi yang cukup kuat.
            Tokoh perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya juga tidaklah terlalu mendasar apalagi NU sangat toleran terhadap perbedaan itu. Mereka sudah terbiasa dengan pandangan berbagai macam madzhab, sehingga apa yang diintrodusir oleh Muhammadiyah juga bukanlah hal yang baru. Jika ketika itu kegiatan dakwah dilakukan dengan hati-hati, tidak terasakan nuansa menang dan kalah, maka umat islam tidak akan terpolarisasi sebagaimana yang terjadi sekarang ini, yang ternyata tidak mudah untuk diutuhkan kembali.
            Semangat dan gerakan dakwah menyampaikan risalah Rasulullah sebagaimana yang telah banyak dilakukan baik oleh orang NU maupun Muhammadiyah adalah merupakan misi yang sangat terpuji dan mulia. Akan tetapi, menurut Al-Qur’an dan juga Hadits Nabi hal itu harus dilakukan dengan penuh hikmah agar jangan sampai menimbulkan perasaan sakit hati yang kemudian berujung terjadi perpecahan. Selain itu, apapun dalih yang digunakan semestinya cara-cara dakwah tidak boleh mengganggu kesatuan dan persatuan umat islam. Umat islam harus tetap bersatu. Begitulah pesan al-qur’an dan tauladan Rasulullah SAW.
            Apabila kita sudah mengetahui perbedaan antara NU dan Muhammadiyah tentunya kita bisa mengetahui persamaannya. dari perbedaan dan persamaan itulah kita bisa menentukan titik temu keduanya yang merupakan organisasi islam terbesar  di Indonesia.
                                                           
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diulas diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pandangan antara K.H. Hasyim Asy’ari dengan K.H. Ahmad Dahlan yang keduaya merupakan pendiri organisasi islam terbesar yang ada di Indonesia memang berasal dari “madrasah” (school of thought) berbeda yang sesungguhnya terjadi sangat lama.
Muhammadiyah (lahir 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti Jamaludin Al-afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf(yang literalis) seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab. Wacana pemikiran modern misalnyamembuka pintu ijtihad , kembai kepada Al-Qur’an dan Sunnah, tidak boleh ijtihad, menghidupkan kembali pemikiran islam.
Disisi lain, NU (Nahdhatul Ulama), didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari, 1926, lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU lebih nampak dipedesaan.
Sebenarnya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika bergaung pemikiran Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dan mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru kritis terhadap pemikiran mereka.
Kedua organisasi tersebut memiliki berbagai perbedaan pandangan. dalam masyarakat perbedaan yang nyata adalah dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhammadiyah melarang (bahkan membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang NU mensunnahkan , bahkan masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud sahwi, dan berbagai masalah lain. Alhamdulilah perbedaan pandangan ini sudah tidak menjadikan petrentangan lagi karena kedewasaan dan adanya toleransi yang besar dari keduanya.
3.2 Kritik dan Saran
Penulis merasa bersyukur atas terselesainya makalah ini walaupun terdapat banyak kekurangan yang masih harus diperbaiki kembali dalam makalah ini. dan penulis sangat senang untuk menerima kritik dan saran dari pihak pembaca demi kesempurnaan makalah ini serta semoga bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.