KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada
tuhan yang maha esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya
sehingga saya berhasil menyelesaikan
Makalah
ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul
“TITIK TEMU ANTARA MUHAMMADIYAH DENGAN NU” judul ini saya
pilih karena mempunyai rasa ingin mengetahu apa yang ada di Muhammadiyah serta apa yang ada di NU itu sendiri.
Saya ucapkan banyak
terima kasih kepada bapak dosen yang telah memberikan tugas ini serta
mentransformasikan ilmunya kepada saya, sehingga saya mempunyai keilmuan dan wawasan yang baru.
Makalah ini saya akui
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh
kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan Makalah ini.
Malang, 25 Desember 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
NU dan Muhammadiyah adalah dua
organisasi islam terbesar di Indonesia dengan mengantongi jumlah massa
masing-masing puluhan juta. keduanya mempunyai pengalaman kesejarahan amat
kaya. Dan proses kristalisasi sejarah semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah
sebagai dua sosok organisasi sosial keagamaan yang disegani. Yang pertama
sering disebut oleh para pengamat sejarah sebagai sebuah organisasi yang
mewakili golongan muslim tradisional, sedang yang kedua sering dikatakan
sebagai perkumpulan yang mewakili muslim modernis. Kalau NU lahir pada 31
januari 1926, maka Muhammadiyah lahir lebih awal empat belas tahun, yaitu pada
18 nopember 1912.
Melihat kematangan usianya yang
telah melebihi usia kemerdekaan Republik Indonesia, keduanya jelas memiliki
pengalaman interaksi dengan lanskap sejarah keindonesiaan yang lengkap dan
utuh. Keduanya merupakan organisasi tujuh zaman (istilah Mas Surya Paloh). Keduanya
sama-sama pernah menjalani masa penjajahan Belanda, Pendudukan Jepag, Revolusi
Kemerdekaan, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, Dan
Sekarang Era Reformasi.
Dilihat dari sudut historitasnya,
keduanya telah berperan cukup besar bagi kelangsungan eksistensi Indonesia,
tentunya dengan mengecualikan fase-fase tertentu dimana langit-langit politik
memang tak memberikan peluang bagi keduanya untuk tampil sebagai pemain garda
depan. Dan dengan tipologi yang dimiliki masing-masing keduaya telah memberikan
kontribusi yang tidak sedikit dalam pengisian nilai-nilai religius kedalam
lokus keindonesiaan.
Pada optik itulah, koinsidensi
historis NU-Muhammadiyah yang terjadi ini memiliki makna penting. Setelah
melalui perjalanan panjang dengan segala suka dan dukanya, maka kebersamaan
waktu antara sidang tanwir Muhammadiyah dan ulang tahun NU ke-76 inipun bisa
dijadikan sebagai titik pijak untuk mengoptimalkan secara serius (bukan semu)
era keduanya dalam konteks sosio-kultural. NU dan Muhammadiyah kini perlu untuk
menfokuskan dan mengorientasikan diri pada kerja-kerja kultural secara lebih
maksimal.
Optimalisasi kerja kultural itu
dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam lima bentuk. Pertama, baik NU maupun
Muhammdiyah secara kelembagaan tidak perlu lagi menempatkan politik sebagai
kepentingan tujuan yang dominan. NU dengan koredornya “kembali ke Khithaah
1926” dan Muhamadiyah dengan slogannya “High politics” atau “politik luhur”,
perlu semakin dimantapkan sebagai visi dan cita pergerakan kultural, tanpa
perlu terjebak pada pemenuhan kepentingan-kepentingan politik yang bersifat
jangka pendek, tentatif, dan sesaat. Keduanya mesti mengkonsentrasikan
gerakannya pada penggarapan masalah sosial keagamaan, yang beberapa waktu lalu
sempat terhenti akibat gonjang-ganjing politik nasional yang telah memecah
konsentrasi sebagian besar para petinggi kedua organisasi ini. Sekarang tiba
saatnya keduanya untuk bisa bekerja sama dalam jalur-jalur pergerakan kultural.
1.2
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah ?.
2.
Bagaimana
sejarah berdirinya NU ?.
3.
Apa perbedan
antara NU dan Muhammadiyah?
4.
Bagaimana
titik temu antara NU dan Muhammadiyah?
1.3 Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan makalah sebagai berikut:
1.
Untuk Mengetahui Sejarah Berdirinya Muhammadiyah ?.
2.
Untuk
Mengetahui Sejarah Berdirinya NU ?.
3.
Untuk
Mengetahui Perbedan Antara NU dan Muhammadiyah?
4.
Untuk
Mengetahui Titik Temu Antara NU dan Muhammadiyah?
1.4 Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan diatas maka manfaat
dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Penulis dapat mengetahui sejarah
berdirinya NU dan Muhammadiyah.
2. Penulis dapat mengetahui perbedaan
antara NU dan Muhammadiyah.
3. Penulis dapat mengetahui titik temu
antara NU dan Muhammadiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah
didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan dengan 18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KH Ahmad Dahlan.
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan
ummat Islam pada waktu itu dalam
keadaan jumud, beku dan penuh
dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak
mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan
Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah
kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula
ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat
sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat
mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke
luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk
mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan
kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya
kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam
forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari
pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk
anak-anak yang telah dewasa.
Disamping memberikan kegiatan kepada
laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga mendirikan
sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau telah mendirikan Sekolah
Dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah
sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namanya menjadi Kweek School Muhammadiyah,
tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan
akhirnya pada tahun 1930 namanya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat.
Suatu ketika KH.Ahmad Dahlan menyampaikan usaha
pendidikan setelah selesai menyampaikan santapan rohani pada rapat pengurus
Budi Utomo cabang Yogyakarta. Ia menyampaikan keinginan mengajarkan agama Islam
kepada para siswa Kweekschool Gubernamen Jetis yang dikepalai oleh R.
Boedihardjo, yang juga pengurus Budi Utomo. Usul itu disetujui, dengan syarat
di luar pelajaran resmi. Lama-lama peminatnya banyak, hingga kemudian
mendirikan sekolah sendiri. Di antara para siswa Kweekschool Jetis ada yang
memperhatikan susunan bangku, meja, dan papan tulis. Lalu, mereka menanyakan
untuk apa, dijawab untuk sekolah anak-anak Kauman dengan pelajaran agama Islam
dan pengetahuan sekolah biasa. Mereka tertarik sekali, dan akhirnya menyarankan
agar penyelelenggaraan ditangani oleh suatu organisasi agar berkelanjutan
sepeninggal K.H. Ahmad Dahlan kelak.
Setelah pelaksanaan penyelenggaraan sekolah itu sudah
mulai teratur, kemudian dipikirkan tentang organisasi pendukung
terselenggaranya kegiatan sekolah itu. Dipilihlah nama "Muhammadiyah"
sebagai nama organisasi itu dengan harapan agar para anggotanya dapat hidup
beragama dan bermasyarakat sesuai dengan pribadi Nabi Muhammad saw. Penyusunan
anggaran dasar Muhamadiyah banyak mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru
bahasa Melayu Kweekschool Jetis. Rumusannya dibuat dalam bahasa melayu dan
Belanda. Kesepakatan bulat pendirian Muhamadiyah terjadi pada tanggal 18
November 1912 M atau 8 Zulhijah 1330 H. Tgl 20 Desember 1912 diajukanlah surat
permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar perserikatan ini
diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Setelah memakan waktu
sekitar 20 bulan, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah
sebagai badan hukum, tertuang dalam Gouvernement Besluit tanggal 22 Agustus
1914, No. 81, beserta alamporan statuennya.
Muhammadiyah juga mendirikan organisasi untuk
kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi
Walidah Ahmad Dahlan Nyi Walidah Ahmad
Dahlan berperan
serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun
1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan
rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH
Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934. Rapat Tahunan itu sendiri kemudian
berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari
berubah menjadi Muktamar tiga tahunan
dan seperti saat ini Menjadi
Muktamar 5 tahunan.
2.2.
Sejarah Berdirinya NU
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi,
telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa
ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut
dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan memang terus
menyebar ke mana-mana – setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan
kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada
1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga
dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan
sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan
Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka
Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal
yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan
sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena
dianggap bidah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum
modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad
Dahlan maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan
pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren
dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925.
Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar
‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan
keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari, K.H.
Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan
kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka
kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite
Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite
Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu
Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas
dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran
internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan
kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan
peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat
embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi
yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan
zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul
kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan
Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh
K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H.
Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan
kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian
diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga
NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
2.3 Perbedaan
antara NU dan Muhammadiyah
MASALAH
|
NU
|
MUHAMMADIYAH
|
Aqidah (Keduanya masih dalam
bingkai Ahlu sunnah)
|
Mengikuti paham
Asy’ariyah/Maturidiyah
|
Mengikuti paham salaf/wahabi*
(Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim)
|
Fiqih
|
Keharusan mengikuti salah satu
madzhab
|
Langsung kepada Alqur’an dan
Sunnah, dan Tarjih(memilih pendapat yang terkuat)
|
Tasawwuf/thariqah
|
Menerima tasawwuf, dan thariqah
yang mu’tabar(diakui)
|
Menolak tasawwuf dan
thariqah(tetapi banyak yang apresitif secara individual dan selektif, missal
HAMKA dengan tasawwuf modernya)
|
Pemikiran y`ng dominan
|
Pemikir Klasik: Asy’ari,
Al-Ghazali dan Nawawi, dan lain-lain
|
Ibnu Taimiyah, Muhammad bin
Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
|
Bicara masalahs perbedaan antara
dua organisasi islam yaitu NU dan muhammadiyah jelasnya sangat berbeda, baik
itu cara berfikirnya ataupun dalam penganmbilan keputusan hukum.Bahkan kalau
dalam masyaratak pedesaan ia lebih cendrung mengikuti pada hNU, kalau
diperkoataan masih stabil antara NU dan muhammadiyah. Bentuk perbedaan anatara
kedua tersebut diantara salah satunya adalah dalam pembacaan do’a qunut dalam shalat, dan meminimalisir suara
agar untuk tidak nyaring dalam bacaan basmalah pada surat fatihah ketika shalat
dan dzikir ketika selesai shalat. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada
table dibawah ini.
2.3. Titik
Temu antara NU dan Muhammadiyah
Muhammadiyah dan NU adalah
organisasi bukan masalah fiqih. Hanya dalam konteks Indonesia Muhammadiyah dan
NU adalah mewakili dua golongan besar ummat islam secara fiqih juga.
Muhammadiyah mewakili kelompok “modernis”(begitu ilmuan menyebut), yang
sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip seperti
Persis(Persatuan Islam), Al-irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul
Ulama) mewakili Kelompok “tradisional”, selain Nahdhatul Wathan, Jami’atul
Washliyah, Perit dan lain-lain.
Kedua organisasi memiliki
berbagai pebedaaan pandangan. Dalam masyarakat perbedaan paling nyata adalah
dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhammadiyah melarang (bahkan
membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang NU mensunnahkan , bahkan
masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud sahwi, dan
berbagai masalah lain. Alhadulillah perbedaan pandangan ini sudah tidak
menjadikan pertentangan lagi, karena kedewasaan dan toleransi yang besar dari
keduanya.
Pandangan antara keduanya memang
berasal dari “madrasah”(school of thought) berbeda, yang sesungguhnya
sudah sangat lama. Muhammadiyah (lahir 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan)
adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida (yang sangat rasional)
sekaligus pemikir salaf (yang literalis) seperi Ibnu Taimiyyah, Muhamad Abdul
Wahab. Wacana pemikran modern misalnya membuka pintu ijtihad kembali ke
al-qur’an dan sunnah, tidak boleh taqlid, menghidupkan pemikiran islam.
Sedang wacana salaf adalah
bebaskan takhayyul, bid’ah, dan khurafat (TBC). Tetapi dalam perkembangan yang
dominan terutama di grass rootnya adalah wacana salaf. Sehingga Muhammadiyah
sangat bersemangat dengan tema TBC. Yang menjadi masalah, banyak kategori TBC
tersebut justru diamalkan dikalangan NU, bahkan di anggap sunnah. Karena
sifatnya yang dinamis, praktis, dan rasional, Muhammdiyah diikuti kalangan
terdidik dan masyarakat kota.
Disisi lain NU (Nahdhatul Ulama),
didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari, 1926, lahir untuk menghidupkan
tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah
memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU lebih nampak
dipedesaan.
Sebenarnya KH. Ahmad Dahlan dan
KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika bergaung pemikiran
Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dan
mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru kritis terhadap
pemikiran mereka.
Berikut secara ringkas perbadaan
pandangan antara keduanya:
MASALAH
|
NU
|
MUHAMMADIYAH
|
Aqidah (Keduanya masih dalam bingkai Ahlu sunnah)
|
Mengikuti
paham Asy’ariyah/Maturidiyah
|
Mengikuti
paham salaf/wahabi* (Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim)
|
Fiqih
|
Keharusan
mengikuti salah satu madzhab
|
Langsung
kepada Alqur’an dan Sunnah, dan Tarjih(memilih pendapat yang terkuat)
|
Tasawwuf/thariqah
|
Menerima
tasawwuf, dan thariqah yang mu’tabar(diakui)
|
Menolak
tasawwuf dan thariqah(tetapi banyak yang apresitif secara individual dan
selektif, missal HAMKA dengan tasawwuf modernya)
|
Pemikiran yang dominan
|
Pemikir
Klasik: Asy’ari, Al-Ghazali dan Nawawi, dan lain-lain
|
Ibnu
Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
|
*Istilah wahabi diberikan oleh kelompok lain,
meraka sendiri lebih menyukai disebut muwahhdin(orang yang mengesakan).
Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah di seputar ibadah, sesungguhnya tidak
masuk hal yang bersifat prinsip. Perbedaan itu misalnya, dalam jumlah raka’at
dalam shalat taraweh, menggunakan qunut dan tidak, mengawali ushalli dalam
mengawali shalat atau tidak, shalat hari raya dimasjid atau dilapangan, shalat
jumat menggunakan adzan sekali atau dua kali, pakai kopiah atau tidak dan lain
sebagainya.
Diluar peribadan itu masih ada perbedaan lain, misalnya orang NU suka kenduri
sedangkan orang Muhammadiyah tidak mau mengundang tetapi mau diundang.
Kesediaan menghadiri undangan kenduri bagi Muhammadiyah lantas juga melahirkan kritik
dari orang NU, misalnya orang Muhammadiyah mau diberi akan tetapi tidak mau
memberi.
Perbedaan paham keagamaan tersebut menjadikan masyarakat terprakmentasi secara
tajam. Akan tetapi , sebagaimana masyarakat desa pada umumya, masih memiliki
lembaga yang mampu menyatukan di antara kelompok-kelompok itu. Misalya,
peristiwa pernikahan, khitanan, kematian, kegiatan desa yang terkait dengan
pemerintahan dan sejenisnya. Betapun tajamnya perbedaan itu tetapi dengan mudah
dapat disatukan kembali.
Perbedaan pandangan itu, biasanya dilontarkan dalam bentuk sindiran dan bahkan
juga ejekan. Sindiran atau ejekan kelompok lain, jika dimaksudkan sebagai cara
dakwah untuk membangun kesadaran orang lain, sesungguhnya justru kontra
produktif. Sindiran atau ejekan itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali
kebencian. Dan seseorang yang dibuat benci tidak akan mengikuti pikiran,
apalagi jejak langkah orang yang melontarkan kritik dan ejekan itu. Oleh karena
itu, saya kira perkembangan dakwah Muhammadiyah yang tidak terlalu berhasil
dengan cepat sebagai salah satu sebabnya adalah cara dakwahnya dilakukan dengan
melalui kritik-kritik itu.
Mengikuti konsep yang akhir-akhir ini yang dilontarkan oleh beberapa angota
pimpinan pusat Muhammadiyah tentang dakwah kultural, mungkin itu tepat
dijalankan. Saya berkeyakinan, andaikan Muhammadiyah menggunakan pendekatan
kultural, dan tidak melakukan pendekatan menang kalah sebagaimana yang banyak
dilakukan pada saat itu, maka paham ini tidak akan menemui eksistensi yang
cukup kuat.
Tokoh perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya juga tidaklah terlalu mendasar
apalagi NU sangat toleran terhadap perbedaan itu. Mereka sudah terbiasa dengan
pandangan berbagai macam madzhab, sehingga apa yang diintrodusir oleh
Muhammadiyah juga bukanlah hal yang baru. Jika ketika itu kegiatan dakwah
dilakukan dengan hati-hati, tidak terasakan nuansa menang dan kalah, maka umat
islam tidak akan terpolarisasi sebagaimana yang terjadi sekarang ini, yang
ternyata tidak mudah untuk diutuhkan kembali.
Semangat dan gerakan dakwah menyampaikan risalah Rasulullah sebagaimana yang
telah banyak dilakukan baik oleh orang NU maupun Muhammadiyah adalah merupakan
misi yang sangat terpuji dan mulia. Akan tetapi, menurut Al-Qur’an dan juga
Hadits Nabi hal itu harus dilakukan dengan penuh hikmah agar jangan sampai
menimbulkan perasaan sakit hati yang kemudian berujung terjadi perpecahan.
Selain itu, apapun dalih yang digunakan semestinya cara-cara dakwah tidak boleh
mengganggu kesatuan dan persatuan umat islam. Umat islam harus tetap bersatu.
Begitulah pesan al-qur’an dan tauladan Rasulullah SAW.
Apabila kita sudah mengetahui perbedaan antara NU dan Muhammadiyah tentunya
kita bisa mengetahui persamaannya. dari perbedaan dan persamaan itulah kita
bisa menentukan titik temu keduanya yang merupakan organisasi islam
terbesar di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diulas
diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pandangan antara K.H. Hasyim Asy’ari
dengan K.H. Ahmad Dahlan yang keduaya merupakan pendiri organisasi islam
terbesar yang ada di Indonesia memang berasal dari “madrasah” (school of
thought) berbeda yang sesungguhnya terjadi sangat lama.
Muhammadiyah (lahir 1912,
didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi
pemikir-pemikir modern seperti Jamaludin Al-afghani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf(yang literalis) seperti
Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab. Wacana pemikiran modern misalnyamembuka
pintu ijtihad , kembai kepada Al-Qur’an dan Sunnah, tidak boleh ijtihad,
menghidupkan kembali pemikiran islam.
Disisi lain, NU (Nahdhatul
Ulama), didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari, 1926, lahir untuk
menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak kelahiran
Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU
lebih nampak dipedesaan.
Sebenarnya KH. Ahmad Dahlan dan
KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika bergaung pemikiran
Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dan
mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru kritis terhadap pemikiran
mereka.
Kedua organisasi tersebut
memiliki berbagai perbedaan pandangan. dalam masyarakat perbedaan yang nyata
adalah dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhammadiyah melarang
(bahkan membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang NU mensunnahkan ,
bahkan masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud
sahwi, dan berbagai masalah lain. Alhamdulilah perbedaan pandangan ini sudah
tidak menjadikan petrentangan lagi karena kedewasaan dan adanya toleransi yang
besar dari keduanya.
3.2 Kritik
dan Saran
Penulis merasa bersyukur atas
terselesainya makalah ini walaupun terdapat banyak kekurangan yang masih harus
diperbaiki kembali dalam makalah ini. dan penulis sangat senang untuk menerima
kritik dan saran dari pihak pembaca demi kesempurnaan makalah ini serta semoga
bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.