Sejarah
Panggung pergerakan merupakan medan
utama mahasiswa dalam menancapkan api perjuangan di Nusantara. Sejak
dirangkai oleh visi kemerdekaan, dunia pemuda dan mahasiswa tidak hanya
jadi penonton “hitam putihnya Indonesia” yang baru lepas dari belenggu
kolonialisme. Hasrat yang kuat untuk membangun bangsa yang berkeadilan
tanpa diskriminasi dan berperadaban adalah isu utama kebangsaan yang
diusung oleh mahasiswa.
Sejarah mencatat, gerakan mahasiswa awal
yang dipelopori oleh sekelompok mahasiswa STOVIA yang mendeklarasikan
dirinya sebagai kelompok Budi Utomo ( 20 Mei 1908 ) mampu memelopori
perlawanan terhadap kungkungan kolonialisme terhadap bangsa. Mahasiswa
pada saat itu mampu mengejawantahkan dirinya sebagai agent of change yang terus bergeliat mencari makna ke arah perubahan yang lebih baik.
Pada dekade 1920-an, terdapat fenomena
gerakan baru yang dilakukan oleh serombongan mahasiswa Indonesia.
Gerakan mahasiswa pada masa ini terkonsentrasi pada wilayah pembentukan
dan pengembangan kelompok-kelompok studi. Format baru tersebut menjadi
orientasi gerakan kala itu, karena banyak pemuda dan mahasiswa yang
kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia.
Melalui kelompok studi, pergaulan di antara para mahasiswa pun tidak
dibatasi oleh sekat-sekat kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan yang
mungkin memperlemah perjuangan mahasiswa.
Selanjutnya, sebagai reaksi atas
aneka-ragam kecenderungan permusuhan atau perpecahan yang membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa. Dimana ketika itu, di samping organisasi
politik, juga memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang
bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti
Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak,
Jong Islamieten Bond, dan lain-lain. Maka semangat perjuangan
pemuda-pemuda Indonesia tersebut harus tercetuskan dalam satu tekad
tanpa sekat. Akhirnya, pada 27-28 Oktober 1928 diselenggarakan Kongres
Pemuda II, yang menghasilkan rumusan-rumusan baru untuk menyikapi
kondisi bangsa. Sumpah setia hasil Kongres Pemuda II tersebut, dibacakan
pada 28 Oktober 1928, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Dari kebangkitan kaum terpelajar,
mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda inilah, muncul generasi baru
pemuda Indonesia, angkatan 1928. Sumpah Pemuda sebagai alat pemersatu
semangat kebangsaan mampu mempersatukan tekad para pemuda untuk bersama
dan bersatu dalam semangat persatuan Indonesia.
Era 1940-an, para pemuda dan mahasiswa
tidak hanya diam terpaku melihat kondisi realitas bangsa yang carut
marut tanpa kepastian. Pada tahun 1945, pemuda dan mahasiswa mencoba
untuk menyatukan persepsi dan segera merumuskan persiapan kemerdekaan
Indonesia. Melalui kalangan tua, Soekarno dan Hatta, yang didesak
beberapa tokoh muda untuk segera merumuskan persiapan kemerdekaan
Indonesia, akhirnya mengabulkan keinginan para pemuda. Dan
memproklamasikan negara Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945. Pada momentum inilah, fungsi gerakan pemuda Indonesia benar-benar
menunjukkan partisipasi yang sangat berarti. Indonesia merdeka yang
menjadi impian bangsa Indonesia kini telah terwujud.
Tidak berhenti sampai disini. Paska
kemerdekaan Indonesia, pemuda dan mahasiswa terus bergerak untuk
berbenah, menyikapi kondisi bangsanya melalui sistim kepartaian yang
ada. Seiring dengan suasana Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan
hingga Demokrasi Parlementer, yang lebih diwarnai perjuangan
partai-partai politik dan saling bertarung berebut kekuasaan, maka pada
saat yang sama, mahasiswa lebih melihat diri mereka sebagai The Future
Man; artinya, sebagai calon elit yang akan mengisi pos-pos birokrasi
pemerintahan yang akan dibangun.
Bersamaan dengan diberikannya ruang dalam
sistem politik bagi para aktivis mahasiswa yang memiliki hubungan dekat
dengan elit politik nasional. Maka pada masa ini banyak organisasi
mahasiswa yang tumbuh berafiliasi dengan partai politik. Hingga berujung
pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan keinginan pemerintahan
Soekarno untuk mereduksi partai-partai, maka kebanyakan organisasi
mahasiswa pun membebaskan diri dari afiliasi partai dan tampil sebagai
aktor kekuatan independen, sebagai kekuatan moral maupun politik yang
nyata. Dibuktikan dengan terbentuk dan tergabungnya organisasi mahasiswa
(termasuk PMII, GMKI, HMI, Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi
Lokal -SOMAL-, Mahasiswa Pancasila -Mapancas-, dan Ikatan Pers Mahasiswa
-IPMI-) dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk melakukan
perlawanan terhadap paham komunis, memudahkan koordinasi dan memiliki
kepemimpinan.
Karena sikap pemerintah yang otoriter,
serta terjadinya pemberontakan 30 September 1965, menyebabkan
pemerintahan Demokrasi Terpimpin mengalami keruntuhan. Berakhirnya rezim
Orde Lama yang dipimpin Soekarno tersebut, memulai babak baru
perjalanan bangsa Indonesia, dengan kepemimpinan Soeharto, yang kemudian
dikenal dengan rezim Orde Baru.
Pada era 1970-an (era rezim Orde Baru),
pemuda dan mahasiswa Indonesia mengalami distorsi gerakan. Sikap
konfrontasi mahasiswa terhadap pemerintahan yang korup, berujung pada
permainan rekayasa dan kebijakan kooptasi pemerintahan Orde Baru, yang
mencoba mempertahankan status quo. Selanjutnya, melalui kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus, gerakan mahasiswa benar-benar tereduksi
oleh sikap otoritarianisme penguasa. Akibatnya mahasiswa hanya
disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus, di samping kuliah sebagai
rutinitas akademik serta dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, dis
natalis, acara penerimaan mahasiswa baru dan wisuda sarjana.
Dengan semakin termarjinalnya gerakan
mahasiswa dalam pentas kontrol sosial-politik Indonesia, akhirnya pada
era berikutnya, gerakan mahasiswa mengalami power disaccumulation,
yang kemudian melahirkan angkatan baru, yaitu angkatan 1990-an. Adalah
satu keberanian menggulirkan diskursus gerakan mahasiswa 1990-an di
tengah kehancuran politik mahasiswa, yang disebabkan oleh kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus. Namun gerakan tersebut perlahan mulai
kembali menggelinding bersamaan dengan isu SDSB. Bahkan dalam
perkembangannya, keberhasilan gerakan mahasiswa dalam isu SDSB harus
diakui berhasil meskipun sedikit tertolong oleh power block politic yang ada.
Lahirnya gerakan mahasiswa 1998 dengan
segala keberhasilannya meruntuhkan kekuasaan rezim Orde Baru, adalah
merupakan akibat dari akumulasi ketidakpuasan dan kekecewaan politik
yang telah bergejolak selama puluhan tahun dan akhirnya “meledak”.
Secara obyektif situasi pada saat itu, sangat kondusif bagi gerakan
mahasiswa berperan sebagai agen perubahan. Krisis legitimasi politik
yang sudah diambang batas, justru terjadi bersamaan dengan datangnya
badai krisis moneter di berbagai sektor. Di sisi lain secara subyektif,
gerakan mahasiswa 1998 telah belajar banyak dari gerakan 1966 dengan
mengubah pola gerakan dari kekuatan ekslusif ke inklusif dan menjadi
bagian dari kekuatan rakyat.
Sasaran dari tuntutan “Reformasi” gerakan
mahasiswa dan kelompok-kelompok lain yang beroposisi terhadap rezim
Orde Baru, antara lain adalah perubahan kepemimpinan nasional. Soeharto
harus diruntuhkan dari kekuasaan, karena tidak akan ada reformasi selama
Soeharto masih berkuasa. Namun demikian, kenyataan menunjukkan
suara-suara kritis yang menuntut perubahan tidak mendapatkan jawaban
dari rezim penguasa, sebagaimana yang diharapkan. Terlebih oleh Golongan
Karya (Golkar), yang dengan enteng mencalonkan kembali Soeharto.
Perjalanan panjang gerakan mahasiswa
akhirnya mencapai puncaknya pada Mei 1998, dengan indikasi turunnya
kekuatan otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto. Namun keberhasilan
yang mengesankan ini tampaknya tidak dibarengi oleh kesiapan jangka
panjang gerakan mahasiswa. Berbagai kontroversi kemudian timbul di
masyarakat, berkenaan dengan pengalihan kekuasaan ini.
Pertama, pandangan yang melihat hal itu sebagai proses inkonstitusional dan sebaliknya pandangan kedua, beranggapan bahwa langkah tersebut sudah konstitusional.
Menyambut turunnya Soeharto, sejenak
mahasiswa benar-benar diliputi kegembiraan. Perjuangan mereka satu
langkah telah berhasil, tetapi kemudian timbul keretakan di antara
kelompok-kelompok mahasiswa mengenai sikap mahasiswa terhadap peralihan
kekuasaan dari Soeharto ke Habibie.
Paska reformasi 1998, tampak terlihat
masih amburadulnya konsolidasi gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa
tahap selanjutnya mengalami krisis identitas. Perbedaan visi yang muncul
pada gerakan mahasiswa seringkali mengarah pada persoalan friksi-friksi
yang sifatnya teknis. Kenyataan demikian menyebabkan friksi-friksi
gerakan mahasiswa kehilangan arah dan bentuk. Hal ini menyebabkan
sejumlah gerakan mahasiswa harus melakukan konsolidasi internal
organisasi. Konsolidasi internal ini sebagai upaya untuk mencari format
baru gerakan mahasiswa dalam konstalasi politik yang baru pula.
Disamping itu, konsolidasi internal ditujukan agar gerakan mahasiwa
harus lebih introspeksi diri terhadap apa yang dilakukan. Upaya
konsolidasi internal ini bukan berarti menegasikan dinamika politik
sekitar, akan tetapi, konsolidasi internal ini agar lebih tepat, baik
secara strategis dan taktis untuk melakukan gerakan kedepan.
REFLEKSI PMII SEBAGAI ORGANISASI KEMAHASISWAAN
Sepintas Sejarah Lahir PMII
Dokumen Sejarah menjadi sangat penting
untuk ditinjau ulang sebagai referensi atau cerminan masa kini dan
menempuh masa depan, demikian halnya Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) sebagai organisasi kemahasiswaan yang gerak
perjuangannya adalah membela kaum mustadh’afin serta membangun
kebangsaan yang lebih maju dari berbagai aspek sesuai dengan yang telah
dicita-citakan.
Latar belakang berdirinya PMII terkait
dengan kondisi politik pada PEMILU 1955, berada di antara kekuatan
politik yang ada, yaitu MASYUMI, PNI, PKI dan NU. Partai MASYUMI yang
diharapkan mampu untuk menggalang berbagai kekuatan umat Islam pada saat
itu ternyata gagal. Serta adanya indikasi keterlibatan MASYUMI dalam
pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan
Perjuangan Semesta (PERMESTA) yang menimbulkan konflik antara Soekarno
dengan MASYUMI (1958). Hal inilah yang kemudian membuat kalangan
mahasiswa NU gusar dan tidak enjoy beraktivitas di HMI (yang
saat itu lebih dekat dengan MASYUMI), sehingga mahasiswa NU terinspirasi
untuk mempunyai wadah tersendiri “di bawah naungan NU”, dan di samping
organisasi kemahasiswaan yang lain seperti HMI (dengan MASYUMI), SEMMI
(dengan PSII), IMM (dengan Muhammadiyah), GMNI (dengan PNI) dan KMI
(dengan PERTI), CGMI (dengan PKI).
Proses kelahiran PMII terkait dengan
perjalanan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang lahir pada 24
Februari 1954, dan bertujuan untuk mewadahi dan mendidik kader-kader NU
demi meneruskan perjuangan NU. Namun dengan pertimbangan aspek
psikologis dan intelektualitas, para mahasiswa NU menginginkan sebuah
wadah tersendiri. Sehingga berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdhatul Ulama
(IMANU) pada Desember 1955 di Jakarta, yang diprakarsai oleh beberapa
Pimpinan Pusat IPNU, diantaranya Tolchah Mansyur, Ismail Makky dll.
Namun akhirnya IMANU tidak berumur
panjang, karena PBNU tidak mengakui keberadaanya. Hal itu cukup
beralasan mengingat pada saat itu baru saja dibentuk IPNU pada tanggal
24 Februari 1954, “apa jadinya kalau bayi yang baru lahir belum mampu
merangkak dengan baik sudah menyusul bayi baru yang minta diurus dan
dirawat dengan baik lagi.”.
Dibubarkannya IMANU tidak membuat
semangat mahasiswa NU menjadi luntur, akan tetapi semakin mengobarkan
semangat untuk memperjuangkan kembali pendirian organisasi, sehingga
pada Kongres IPNU ke-3 di Cirebon, 27-31 Desember 1958, diambillah
langkah kompromi oleh PBNU dengan mendirikan Departemen Perguruan Tinggi
IPNU untuk menampung aspirasi mahasiswa NU. Namun setelah disadari
bahwa departemen tersebut tidak lagi efektif, serta tidak cukup kuat
menampung aspirasi mahasiswa NU (sepak terjang kebijakan masih harus
terikat dengan struktural PP IPNU), akhirnya pada Konferensi Besar IPNU
di Kaliurang, 14-16 Maret 1960, disepakati berdirinya organisasi
tersendiri bagi mahasiswa NU dan terpisah secara struktural dengan IPNU.
Dalam Konferensi Besar tersebut ditetapkanlah 13 orang panitia sponsor
untuk mengadakan musyawarah diantaranya adalah:
- A. Cholid Mawardi (Jakarta).
- M. Said Budairi (Jakarta).
- M. Subich Ubaid (Jakarta).
- M. Makmun Sjukri, BA (Bandung).
- Hilman (Bandung).
- H. Ismail Makky (Yogyakarta).
- Munsif Nachrowi (Yogyakarta).
- Nurul Huda Suaidi, BA (Surakarta).
- Laili Mansur (Surakarta).
- Abdul Wahab Djaelani (Semarang).
- Hizbullah Huda (Surabaya).
- M. Cholid Marbuko (Malang).
- Ahmad Husein (Makassar).
Lalu berkumpulah tokoh-tokoh mahasiswa
yang tergabung dalam organisasi IPNU tersebut untuk membahas tentang
nama organisasi yang akan dibentuk.
Sebelum musyawarah berlangsung, beberapa
orang dari panitia tersebut meminta restu kepada Dr. KH. Idham Cholid,
Ketua Umum PBNU, untuk mencari pegangan pokok dalam pelaksanaan
Musyawarah, mereka adalah Hizbullah Huda, M. Said Budairi dan Makmun
Sjukri. Dan akhirnya mereka mendapatkan lampu hijau, beberapa petunjuk,
sekaligus harapan agar menjadi kader partai NU yang cakap dan berprinsip
ilmu untuk diamalkan serta berkualitas takwa yang tinggi kepada Allah
SWT.
Akhirnya, pada tanggal 14-16 April 1960
dilaksanakan Musyawarah Nasional Mahasiswa NU bertempat di Taman
Pendidikan Puteri Khadijah Surabaya dengan dihadiri mahasiswa NU dari
berbagai penjuru kota di Indonesia, dari Jakarta, Bandung, Semarang,
Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Makassar, serta perwakilan
senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat itu
diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Delegasi Yogyakarta
mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Delegasi
Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII.
Selanjutnya nama PMII yang menjadi
kesepakatan Kongres. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan
dari “P” apakah Perhimpunan atau Persatuan. Akhirnya disepakati huruf
“P” merupakan singkatan dari Pergerakan, sehingga PMII adalah
“Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan
susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PMII, serta
memilih dan menetapkan Kepengurusan. Terpilih Sahabat Mahbub Djunaidi
sebagai Ketua Umum, M. Chalid Mawardi sebagai Ketua I, dan M. Said
Budairy sebagai Sekretaris Umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan
wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII.
PMII dideklarasikan secara resmi pada
tanggal 17 April 1960 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal
1379 Hijriyah. Maka secara resmi pada tanggal 17 April 1960 dinyatakan
sebagai hari lahir PMII. Dua bulan setelah berdiri, pada tanggal 14 Juni
1960 pucuk pimpinan PMII disahkan oleh PBNU. Sejak saat itu PMII
memiliki otoritas dan keabsahan untuk melakukan program-programnya
secara formal organisatoris.
Dalam waktu yang relatif singkat, PMII
mampu berkembang pesat sampai berhasil mendirikan 13 cabang yang
tersebar di berbagai pelosok Indonesia karena pengaruh nama besar NU.
Dalam perkembangannya PMII juga terlibat aktif, baik dalam pergulatan
politik serta dinamika perkembangan kehidupan kemahasiswaan dan
keagamaan di Indonesia (1960-1965).
Pada 14 Desember 1960 PMII masuk dalam
PPMI dan mengikuti Kongres VI PPMI (5 Juli 1961) di Yogyakarta sebagai
pertama kalinya PMII mengikuti kongres federasi organisasi ekstra
universitas. Peran PMII tidak terbatas di dalam negeri saja, tetapi juga
terlibat dalam perkembangan dunia internasional. Terbukti pada bulan
September 1960, PMII ikut berperan dalam Konferensi Panitia Forum Pemuda
Sedunia (Konstituen Meeting of Youth Forum) di Moscow, Uni Soviet.
Tahun 1962 menghadiri seminar World Assembly of Youth (WAY) di Kuala
Lumpur, Malaysia. Festival Pemuda Sedunia di Helsinki, Irlandia dan
seminar General Union of Palestina Student (GUPS) di Kairo, Mesir.
Di dalam negeri, PMII melibatkan diri
terhadap persoalan politik dan kenegaraan, terbukti pada tanggal 25
Oktober 1965, berawal dari undangan Menteri Perguruan Tinggi Syarif
Thoyyib kepada berbagai aktifis mahasiswa untuk membicarakan situasi
nasional saat itu, sehingga dalam ujung pertemuan disepakati
terbentuknya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang terdiri dari
PMII, HMI, IMM, SEMMI, dan GERMAHI yang dimaksudkan untuk menggalang
kekuatan mahasiswa Indonesia dalam melawan rongrongan PKI dan meluruskan
penyelewengan yang terjadi. Sahabat Zamroni sebagai wakil dari PMII
dipercaya sebagai Ketua Presidium. Dengan keberadaan tokoh PMII di
posisi strategis menjadi bukti diakuinya komitmen dan kapabilitas PMII
untuk semakin pro aktif dalam menggelorakan semangat juang demi kemajuan
dan kejayaan Indonesia.
Usaha konkrit dari KAMI yaitu mengajukan
TRITURA dikarenakan persoalan tersebut yang paling dominan menentukan
arah perjalanan bangsa Indonesia. Puncak aksi yang dilakukan KAMI adalah
penumbangan rezim Orde Lama yang kemudian melahirkan rezim Orde Baru,
yang pada awalnya diharapkan untuk dapat mengoreksi
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Orde Lama dan bertekad untuk
melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai
cerminan dari pengabdian kepada rakyat.
Pemikiran-pemikiran PMII mengenai
berbagai masalah nasional maupun internasional sangat relevan dengan
hasil-hasil rumusan dalam kongresnya antara lain yaitu :
- Kongres I Solo, 23-26 Desember 1961 menghasilkan Deklarasi Tawang Mangu yang mengangkat tema Sosialisme Indonesia, Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan Tanggungjawabnya sebagai generasi penerus bangsa.
- Kongres II di Yogyakarta, 25-29 Desember 1963 penegasan pemikiran Kongres I dan dikenal sebagai Penegasan Yogyakarta dan sebelumnya ditetapkan 10 Kesepakatan Ponorogo 1962 (sebagai bukti kesadaran PMII akan perannya sebagai kader NU).
Dibalik Nama PMII
Nama PMII merupakan usulan dari delegasi
Bandung dan Surabaya yang mendapat dukungan dari utusan Surakarta. Nama
PMII juga mempunyai arti tertentu. Makna “Pergerakan” adalah dinamika
dari hamba yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya yaitu memberi
penerang bagi alam sekitarnya. Oleh karena itu PMII harus terus
berkiprah menuju arah yang lebih baik sebagai perwujudan
tanggungjawabnya pada lingkungan sekitarnya. Selain itu PMII juga harus
terus membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar
gerak dinamika menuju tujuanya selalu berada dalam kualitas
kekhalifahanya.
Makna “Mahasiswa” adalah generasi muda
yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri.
Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra sebagai Insan Religius,
Insan Akademis, Insan Sosial dan Insan Mandiri. Dari identitas tersebut
terpantul tanggungjawab keagamaan, intelektualitas,
sosial-kemasyarakatan dan tanggungjawab individu sebagai hamba Allah
maupun sebagai warga Negara.
Makna “Islam” yang dipahami sebagai paradigma Ahlussunnah Wal Jamaah
yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional
terhadap Iman, Islam dan Ihsan, yang di dalam pola pikir dan pola
perlakuannya tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif dan integratif.
Makna “Indonesia” adalah masyarakat,
bangsa dan Negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa
serta UUD 1945. Dan mempunyai komitmen kebangsaan sesuai dengan asas
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Independensi PMII Sebuah Pilihan
Seiring dengan perjalanan waktu,
perubahan dalam kehidupan tidak dapat terelakkan. Setelah keluarnya
SUPERSEMAR 1966, kegiatan demonstrasi massa menurun, hingga akhirnya
dilarang sama sekali. Mahasiswa diperintahkan untuk back to campus.
Kondisi yang demikian menggeser posisi strategis KAMI menjadi
termarjinalkan, sehingga diusahakan untuk mengadakan beberapa rapat
mulai 1967 di Ciawi, disusul 11-13 Februari 1969 dengan membahas
National Union of Student. Namun usaha-usaha yang dilakukan menemui
jalan buntu, hingga akhirnya KAMI bubar dan beberapa anggotanya kembali
pada organisasi yang semula.
PMII tetap melakukan gerakan-gerakan
moral terhadap kasus dan penyelewengan yang dilakukan oleh penguasa.
Sejak Orde Baru berdiri, kemenangan berada di tangan Partai Golkar
dengan dukungan dari ABRI. Perubahan konstalasi politik pun terjadi
perlahan dan pasti. Partai-partai politik Islam termasuk NU
dimarjinalkan dan dimandulkan. Dan disisi lain kondisi intern NU dilanda
konflik internal.
Harus diakui bahwa sejarah paling besar
dalam PMII adalah ketika dipergunakannya independensi dalam Deklarasi
Murnajati, 14 Juli 1972. Dalam MUBES III tersebut, dilakukan
rekonstruksi perjalanan PMII selama 12 tahun. Analisa untung-rugi ketika
PMII tetap bergabung (dependen) pada induknya (NU). Namun sejauh itu
pertimbangan yang ada tidak jauh dari proses pendewasan. PMII sebagai
organisasi kepemudaan ingin lebih eksis di mata bangsanya. Hal ini
terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatarbelakangi
Independensi PMII tersebut.
- Butir pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan, mutlak memerlukan insan Indonesia yang berbudi luhur, takwa kepada Allah, berilmu dan bertanggungjawab, serta cakap dalam mengamalkan ilmu pengetahuanya.
- Butir Kedua, PMII sebagai organisasi pemuda Indonesia, sadar akan peranananya untuk ikut bertanggungjawab bagi keberhasilan bangsa untuk dinikmati seluruh rakyat.
- Butir Ketiga, bahwa PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai dengan idealisme Tawang Mangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, sikap keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, PMII
menyatakan diri sebagai organisasi independen, tidak terikat baik sikap
maupun tindakan dengan siapapun, dan hanya komitmen dengan perjuangan
organisasi dan cita-cita perjuangan nasional, yang berlandaskan
Pancasila.
Deklarasi Murnajati tersebut kemudian
ditegaskan kembali dalam Kongres V PMII di Ciloto, 28 Desember 1973.
Dalam bentuk Manifesto Independensi PMII yang terdiri dari tujuh butir,
salah satu butirnya berbunyi: “…bahwa pengembangan sikap kreatif,
keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab sebagai dinamika gerakan
dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta didorong oleh
moralitas untuk memperjuangkan pergerakan dan cita-cita perjuangan
nasional yang berlandaskan Pancasila.”.
Sampai di sini, belum dijumpai adanya
motif lain dari independensi itu, kecuali proses pendewasaan. Hal ini
didukung oleh manifesto butir terakhir, yang menyatakan bahwa “dengan
independensi PMII tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan alternatif
yang lebih lengkap lagi bagi cita-cita perjuangan organisasi yang
berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah.”.
Kondisi sosio-akademis, PMII dengan
independensinya lebih membuktikan keberadaan dan keabsahannya sebagai
organisasi mahasiswa, kelompok intelektual muda yang sarat dengan
idealisme, bebas membela dan berbuat untuk dan atas nama kebenaran dan
keadilan. Dan bersikap bahwa dunia akademis harus bebas dan mandiri
tidak berpihak pada kelompok tertentu. Sedangkan Cholid Mawardi dalam
menyikapi independensi ini penuh dengan penentangan, karena ia khawatir
PMII tidak lagi memperjuangkan apa yang menjadi tujuan partai NU.
Meskipun independensi ini diliputi dengan
pro-kontra yang semakin tajam. Akan tetapi PMII justru memilih
independensi sebagai pilihan hidup dan mengukuhkan Deklarasi Murnajati
dalam Kongres Ciloto, Medan tahun 1973 yang tertuang dalam Manifesto
Independensi PMII. Maka sejak 28 Desember 1973 secara resmi PMII
independen dan memulai babak baru dengan semangat baru menuju masa depan
yang lebih cerah. Ini berarti PMII mulai terpisah secara strukutural
dari NU, tetapi tetap merasa terikat secara kultur dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai strategi pergerakan.
PMII secara resmi bergabung dengan
Kelompok Cipayung (22 Januari 1972) satu tahun setelah Kongres Ciloto,
yaitu pada Oktober1974, di bawah kepemimpinan Ketua Umum Drs. HM. Abduh
Padare. Dan bergabung secara riil pada Januari 1976 dan dipercaya untuk
menyelenggarakan pertemuan ketiga.
Bergabungnya PMII dalam Kelompok Cipayung
merupakan perwujudan arah gerak PMII dalam lingkup kemahasiswaan,
kebangsaan, dan keislaman. Kerjasama dengan berbagai pihak akan terus
dilakukan sejauh masih dalam bingkai visi dan misinya. Terbukti sebelum
bergabung dengan kelompok ini PMII juga terlibat aktif dalam proses
menentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Setelah PMII independen, selain melakukan
aktifitas strategis dalam konstalasi nasional, PMII juga melakukan pola
pengkaderan secara sistematis yang mengacu pada terbentuknya pemimpin
yang berorientasi kerakyatan, kemahasiswaan dan pembangunan bangsa.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya
Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Indonesia (IKAPMI) pada
Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Ciumbeuleuit, Jawa Barat, 1975.
Lahirnya Forum alumni ini merupakan upaya untuk memperkuat barisan PMII
dalam gerak perjuangannya. Dan akhirnya forum inipun disempurnakan lagi
pada Musyawarah Nasional Alumni 1988 di hotel Orchid Jakarta, menjadi
Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Keluarga Alumni (FOKSIKA) PMII dan
Sahabat Abduh Padere ditunjuk sebagai ketuanya.
Hubungan Interdependensi
Pada perkembanagan lebih lanjut saat
Kongres X, pola hubungan PMII dengan NU menjadi interdependen, dimana
PMII tetap mempunyai perhatian khusus terhadap NU karena kesamaan kultur
dan wawasan keagamaan yang memperjuangkan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Beberapa kemungkinan hubungan PMII–NU menjadi interdependen:
- Kesamaan kultur dan pemahaman keagamaan sebagai ciri perjuangan.
- Adanya rekayasa politik untuk mengembangkan kekuatan baru.
- Menghilangkan rasa saling curiga antar tokoh sehingga kader-kader PMII akan lebih mudah memasuki NU setelah tidak aktif di PMII.
Kendatipun demikian PMII memberikan
catatan khusus independensinya yaitu bahwa hubungan tersebut tetap
memegang prinsip kedaulatan organisasi secara penuh dan tidak saling
intervensi baik secara struktural maupun kelembagaan. PMII memanfaatkan
hubungan interdependen ini untuk kerjasama dalam pelaksanaan
program-program nyata secara kualitatif fungsional dan mempersiapkan
sumber daya manusia.
Pada tahun 70-an hingga 90-an, dalam perkembangannya, dunia kemahasiswaan berada dalam kondisi yang tidak kondusif, situasi back to campus
lebih riil terjadi. Kebijakan Orde Baru telah memandulkan posisi
strategis mahasiswa dan lebih didominasi oleh kekuatan militer dan
Golkar. PMII hanya sebatas mampu melakukan pengkaderan secara periodik
sesuai dengan progran kerja yang ditetapkan.
Namun awal tahun 90-an, kelompok-kelompok
gerakan ekstra universitas secara intensif melakukan diskusi-diskusi
dan aksi pendampingan terhadap kasus-kasus masyarakat kecil. Demikian
pula di kalangan PMII, semangat dan wacana gerakan mengalami proses
secara intensif. Sosok Gus Dur dalam konteks ini sangat berpengaruh bagi
penguatan wacana gerakan PMII. Puncaknya adalah ketika terjadi Kongres
XI di Samarinda, 1994, dimana terpilih Sahabat Muhaimin Iskandar sebagai
Ketua Umum PMII. Seorang yang sangat intens dalam pergulatan diskusi
serta gerakan aksi.
Periode 1994-1997 dapat disebut sebagai
era kebangkitan kembali PMII, dengan identitas tegas, kritis dan dinamis
terhadap persoalan-persoalan kebangsaan. Pemerintahan Soeharto yang
semakin memperparah situasi nasional, menyebabkan kondisi dunia
mengalami krisis ekonomi dan politik. Maka melaui Forum Komunikasi
Pemuda Indonesia (FKPI), PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, kecuali HMI, selalu
berkonsolidasi baik dalam gagasan maupun organisasi hingga melakukan
gerakan aksi. Mengapa HMI menolak bergabung dengan FKPI? Hal ini karena
HMI dalam perkembangannya masih dikendalikan oleh alumninya (KAHMI) yang
saat itu banyak menempati posisi strategis birokrasi.
Pada tahun 1998 peristiwa nasional yang
sangat monumental yaitu lengsernya Soeharto dari kursi Presiden dan
dimulainya masa Reformasi, di saat itu PMII telah dijabat oleh Syaiful
Bahri Ansori. Selama periode ini laju kebangkitan PMII tidak sekuat masa
sebelumnya. Demikian pula pada saat PEMILU 1999, bangunan organisasi
PMII tidak tertata secara solid dan sinergis, kegamangan politik pun
terjadi sampai pada tahun 2000, Kongres XII di Medan. Terpilihnya Nusran
Wahid sebagai Ketua Umum, menjadi indikator kekeroposan konsolidasi
PMII yang penuh dengan idealisme, telah kalah diterjang kepentingan
pragmatisme beberapa kelompok.
Dependensi, Independensi dan Interdependensi
Sejarah mencatat bahwa PMII dilahirkan dari pergumulan panjang mahasiswa NU. Selama 12 tahun lamanya PMII menjadi underbow
partai NU yang berkhidmat dalam kancah politik praktis, karena memang
situasi politik pada saat itu menghendaki politik dependensi terhadap
seluruh partai. Akhirnya sangat merugikan PMII yang berdiri sebagai
organisasi mahasiswa. Akibatnya PMII mengalami banyak kemunduran dalam
segala aspek gerakannya. Dan hal tersebut juga berakibat buruk pada
beberapa Cabang PMII di daerah.
Kondisi ini akhirnya menyadarkan PB PMII
untuk mengkaji ulang kiprah yang selama ini dilakukan, khususnya pada
organisasi politik yang gerakannya mengarah pada organisasi kekuatan.
Setelah melalui beberapa pertimbangan matang, maka pada tanggal 14-16
Juni 1972 PMII mengadakan Musyawarah Besar II, di Murnajati, Malang,
Jawa timur, dan menghasilkan Deklarasi Murnajati PMII yang berisi
pernyataan Independensi PMII dari NU. Motivasi itu didorong oleh hal-hal
sebagai berikut:
Pertama, independensi PMII merupakan rekayasa sosial, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua,
Mahasiswa sebagai insan akademis harus memutuskan suatu sikap yang
ukuranya adalah objektifitas dalam mengemukakan ilmu, cinta kebenaran
dan keadilan. Ketiga, PMII merasa canggung dalam menghadapi
masalah-masalah nasional karena harus selalu memihak dan memperhatikan
kepentingan induknya.
Untuk mengembangkan ideologinya, PMII akan mencoba memperjuangkannya sendiri.
Secara politis, konon sikap independensi itu dapat menjadi “bargaining power” antara tokoh PMII pada saat itu dengan pemerintah. Dengan Deklarasi Murnajati ini, PMII menjadi organisasi yang bebas menentukan kehendak dan idealismenya, tanpa harus berkonsultasi dengan organisasi manapun. Termasuk NU yang pernah menjadi induknya.
Secara politis, konon sikap independensi itu dapat menjadi “bargaining power” antara tokoh PMII pada saat itu dengan pemerintah. Dengan Deklarasi Murnajati ini, PMII menjadi organisasi yang bebas menentukan kehendak dan idealismenya, tanpa harus berkonsultasi dengan organisasi manapun. Termasuk NU yang pernah menjadi induknya.
Akan tetapi independensi ini tidak sampai
menghilangkan ikatan emosional antara kedua organisasi tersebut. Karena
antara PMII dan NU masih terdapat benang merah teologis, yaitu faham Ahlussunnah Wal Jamaah.
Pernyataan independensi tersebut ternyata mendapatkan kembali pengakuan
pada Kongres V di Ciloto, Bandung, 28 Desember 1973, yang dikenal
dengan Manifesto Independensi. Khusus mengenai eksistensi NU-PMII,
menjelang muktamar NU ke 28, banyak pihak yang mengharapkan agar PMII
dapat mempertimbangkan kembali sikap independensinya yang telah
diputuskan sejak tahun 1972.
Terhadap masalah ini, PB PMII telah
mengambil sikap yang tegas untuk menjadikan PMII sebagai organisasi yang
independen, sesuai dengan Deklarasi Murnajati yang telah dikukuhkan
dalam Kongres V di Ciloto. Penegasan ini disebut dengan Penegasan
Cibigo. Yang menyatakan :
“PMII adalah organisasi independen yang
tidak terikat dalam sikap dan tindakannya kepada siapapun dan hanya
komitmen dengan perjuangan organisasi dan cita-cita nasional yang
berlandaskan Pancasila. Dan akan terus mengaktualisasikan dalam
kehidupan berorganisasi. PMII insyaf dan sadar bahwa dalam perjuangan
diperlukan rasa saling menolong, ukhuwah dan kerjasama. Karena keduanya
mempunyai persepsi yang sama dalam keagamaan dan perjuangan, visi sosial
dan kemasyarakatan, maka untuk menghilangkan keragu-raguan dan saling
curiga, serta untuk menjalin kerjasama secara kualitatif dan fungsional,
PMII siap meningkatkan kualitas hubungan dengan NU atas dasar prinsip
berkedaulatan organisasi penuh, interdependensi dan tidak ada intervensi
secara struktural dan kelembagaan, serta berprinsip mengembangkan masa
depan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia.”. Pernyataan
ini dicetuskan tanggal 27 Agustus 1991 di Jakarta pada Kongres X PMII,
yang dikenal sebagai Deklarasi Interdependensi PMII-NU.”.
CIPUTAT; KILASAN SEJARAH PMII
Setelah berdirinya PMII pada tanggal 17
April 1960 di Surabaya, maka timbullah hasrat mahasiswa ADIA (sekarang
UIN) Jakarta untuk mendirikan Cabang di daerah Ciputat. Hasrat tersebut
timbul dari sahabat-sahabat mantan anggota IPNU dan GP Anshor, bahkan
aktivis NU.
Dengan hasrat yang membara, maka pada
tanggal 18-22 Juni 1960 mengadakan sidang DEMA (sementara) IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dengan perwakilan-perwakilan DEMA IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Di antara utusan dari Yogyakarta hadir sahabat
Ismail Makky (Dosen Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta), memberikan
penjelasan tentang mendesaknya didirikannya PMII Cabang Ciputat.
Kemudian mendapat tanggapan dan respon yang positif. Namun karena adanya
beberapa hal, sehingga tertunda sampai masuknya mahasiswa baru IAIN
Jakarta.
Sahabat Fahrur Rozi AH. menemui Sahabat
Zamroni dan Sahabat Khotibul Umam untuk segera merealisasikan ide
pembentukan PMII Cabang Ciputat. Kedua sahabat tersebut mempersiapkan
segala sesuatunya dan mulai menemui sahabat-sahabat yang lain untuk
mendukung ide ini. Setelah usaha ini dilaksanakan, ternyata mendapat
dukungan sebanyak 54 orang yang sekaligus menyatakan diri sebagai
anggota pertama kali PMII Cabang Ciputat.
Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan
semua anggota di Gedung IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9
September 1960 dan memutuskan penambahan dan penyempurnaan panitia
pembentukan PMII Cabang Ciputat. Tercatat diantaranya adalah Sahabat M.
Yasin, Ari Amran dan Abdurrahman K. sebagai Panitia Persiapan
Pembentukan PMII Cabang Ciputat. Kemudian panitia mengadakan sharing dengan sahabat-sahabat calon pengurus.
Setelah tersusun calon pengurus dengan
lengkap, maka pada tanggal 12 Januari 1961 secara resmi PMII Cabang
Ciputat disahkan oleh Ketua Ulama Mentri Agama RI Mr. Sjis
Tjangraningrat, Alm., Dekan Fakultas Tarbiyah Prof. H. Mubangt Rono
Anjojo, Alm., para dosen, senat mahasiswa, utusan HMI Cabang Jakarta,
Ketua Umum PB PMII Sahabat Mahbub Djunaedi dan jajaran PB PMII lainnya.
PMII Ciputat adalah salah satu Cabang
Khusus, yaitu Cabang yang berdomisili di tingkat Kecamatan, karena
cabang lainnya di seluruh Indonesia berdomisili di tingkat
Kabupaten/Kota. PMII Ciputat adalah organisasi ekstra universitas
pertama di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan selanjutnya,
berdirilah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan pada bulan Februari
1961 didirikan pula Cabang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Ciputat.
Arus perubahan dari IAIN menjadi UIN,
2001-2002, secara eksplisit turut mempengaruhi corak gerakan PMII
Ciputat. Arus tersebut mampu menyeret PMII Ciputat pada degradasi
pemikiran dan pengkaderan, meskipun secara kuantitas mengalami
peningkatan. Paradigma kritis transformatif yang menjiwainya kini telah
tergadai dengan pragmatisme gerakan, yang dinahkodai oleh politik
praktis kampus an sich. Dimana hal tersebut hanya dapat
dinikmati oleh segelintir elit dan setengah elit politik kampus.
Perawatan kader sebagai basis gerakan PMII kini telah terabaikan dengan
semahin akutnya penyakit pragmatisme pimpinan PMII Ciputat. Lalu kemana
idealisme yang selama ini telah diperjuangkan oleh para pendahulu?
Mengingat PMII Ciputat terletak di antara
pertemuan antara 3 propinsi besar di Indonesia, DKI Jakarta-Jawa
Barat-Banten, seharusnya mampu membuat PMII Ciputat sadar dan membuka
mata untuk terus berbenah dan berkembang menjawab tantangan yang ada.
PMII Ciputat seharusnya mampu membangun paradigma kritis transformatif,
mampu memposisikan diri sebagai agent of social control yang
saat ini tidak dimiliki oleh sebagian besar mahasiswa di lingkungan
Ciputat. Dengan demikian akan terwujud gerakan mahasiswa yang tetap
memegang amanat agen perubahan serta misi tranformasi intelektualitas
akan tetap terjaga.
PMII KOMFAKSYAHUM; SEJARAH BESAR YANG TAK TERABADIKAN
Memory PMII KOMFAKSYAHUM
Fakultas Syariah dan Hukum adalah salah
satu fakultas yang ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fakultas ini
didirikan pada tahun 1966. Berawal dari Jurusan Syariah pada Akademi
Dinas Ilmu Agama (ADIA), kemudian menjadi Fakultas Syariah di IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam sejarah perkembangannya PMII Cabang
Ciputat akhirnya mendirikan Komisariat-komisariat untuk mewadahi kader
yang berada di lingkungan Fakultas-fakultas yang ada di UIN Jakarta (d/h
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Tidak jelas tanggal dan tahunnya,
namun diyakini bahwa PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan
Tinggi Umum (KOMFUSPERTUM) adalah Komisariat tertua di lingkungan PMII
Cabang Ciputat. Lalu disusul dengan berdirinya PMII Komisariat Fakultas
Syariah (KOMFAKSYA) yang diperkirakan berdiri pada tahun 1966
berbarengan dengan berdirinya Jurusan Syariah pada ADIA.
Seperti halnya PMII KOMFUSPERTUM, belum
ditemukan bukti yang mendukung sejarah berdirinya PMII Komisariat
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(KOMFAKSYAHUM), namun dari penjelasan beberapa sumber, PMII KOMFAKSYAHUM
lahir sebagai kepakan sayap dari PMII Cabang Ciputat untuk menjadi
patner dalam mengembangkan sistim kaderisasi dalam tubuh PMII. Pada
tahun 1961 lahir PMII Cabang Ciputat, lalu disusul PMII KOMFUSPERTUM,
dan PMII KOMFAKSYA pada tahun 1966. Hal inilah yang dapat menjelaskan
perkembangan PMII Cabang Ciputat pada masa 1960-an.
Pada masa kelahirannya, PMII KOMFAKSYAHUM
lahir dengan nama PMII Komisariat Fakultas Syariah IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (KOMFAKSYA). Namun seiring dengan perkembangan dan
perubahan waktu, serta pengaruh dari terbitnya statuta DEPAG RI mengenai
lembaga Perguruan Tinggi Agama Islam yang menetapkan status IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20
Mei 2002, dan nama Fakultas Syariah menjadi Fakultas Syariah dan Hukum,
maka PMII KOMFAKSYA juga turut menyesuaikan diri dengan perkembangan
yang ada (tanpa mengurangi rasa hormat terhadap sejarah).
Pada RTK XXXV di Bogor, 17 April 2004,
yang diketuai oleh Sahabat Widiyono dan Penanggungjawab RTK, Sahabat
Herman, PMII KOMFAKSYA berubah nama menjadi PMII KOMFAKSYAHUM, yang
memang secara sengaja disesuaikan dengan kondisi lapangan yang ada. Pada
hari itu resmilah pergantian nama PMII KOMFAKSYA menjadi PMII
KOMFAKSYAHUM, setelah hasil Sidang Komisi disahkan dalam Sidang Pleno
RTK XXXV. KOMFAKSYAHUM adalah kepanjangan dari Komisariat Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saat ini, PMII KOMFAKSYAHUM telah menjadi
organisasi mahasiswa ekstra universitas yang tidak asing di kalangan
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Komisariat yang mampu menjadi
basis gerakan PMII Cabang Ciputat, baik secara kualitas maupun
kuantitas, terbukti mampu mengukir sejarah dengan lautan tinta emas.
Tercatat dalam setiap program/agenda/kegiatan, PMII KOMFAKSYAHUM selalu
mendominasi dan menunjukkan kegagahannya untuk menjadi icon
PMII Cabang Ciputat. Hingga mampu mengubur gerakan PMII Cabang Ciputat,
yang secara struktural organisasoris berkedudukan lebih tinggi daripada
PMII KOMFAKSYAHUM.
Banyak sumber daya manusia excellent
yang terlahir dari PMII KOMFAKSYAHUM, namun hanya sedikit yang
terdeteksi ruang aktualisasinya, mengingat para alumni PMII KOMFAKSYAHUM
cukup banyak dan tersebar ke berbagai daerah di Nusantara. Ada indikasi
bahwa para alumni PMII KOMFAKSYAHUM lebih banyak mengabdi pada
pemberdayaan masyarakat akar rumput (masyarakat desa/bawah) sebagai
ruang transformasi intelektualitas, sehingga sulit untuk mendeteksi
secara keseluruhan. Berikut sedikit daftar tokoh yang terlahir dari
geliatnya dalam tubuh PMII KOMFAKSYAHUM:
- Prof. Dr. Masykury Abdillah, MA.
- Prof. Dr. Hasanudin AF, MA.
- Dr. Mukri Adji, MA.
- Drs.H.Asep Syarifuddin Hidayat, SH.,MH.
- Munawar Fuad
- Heri Heryanto Azumi, S.Ag
- Imam Ma’ruf, S.Ag
- Asrori S. Karni, S.Ag
- Ghozy Fatih, S.Ag
- Dara, M.Si
- Cece, M.Si
- A. Tholabi Kharlie, MA.
- M. Khoirun Sirrin, MA.
- AM. Hasan Ali, MA.
- Muhammad Maksum, MA.
- Subhi Azhari, S.Ag
- Subhan Anshori, S.HI
- Ach. Bakhrul Muchtasib, M.Si
- Hadi Mauludi, S.EI
- Ogy Sugiono, S.HI
- Mujiburrahman, S.Ag
- Rahmat Ferdian, S.HI
- Mustolih Siradj, S.HI
- Ilyas Indra Damar Jati, S.HI
- Iyan Fitriyana, S.HI
- Lukamanul Hakim, S.HI
- Mohammad Ikhsan, S.EI
- Imam Mustofa, SHI
- Irham Fahresa Anas, S.EI
- dan masih banyak yang lain.
Kepemimpinan dalam Barisan Kami
Dari sejarah panjang PMII KOMFAKSYAHUM,
hingga saat ini (2007) tercatat telah melaksanakan Rapat Tahunan
Komisariat (RTK) sebanyak 38 kali dengan peralihan kepemimpinan yang
belum diketahui. Berikut Khidmat kepemimpinan dalam tubuh PMII
KOMFAKSYAHUM:
- Ketua sebelumnya belum diketahui.
- Sahabat Imam Ma’ruf (RTK XXXI/Masa Khidmat 1999-2000)
- Sahabat Subhi Azhari (RTK XXXII/Masa Khidmat 2000-2001)
- Sahabat Lutfi Rahmat (RTK XXXIII/Masa Khidmat 2001-2002)
- Sahabat Ach. Bakhrul Muchtasib (RTK XXXIV/Masa Khidmat 2002-2003)
- Sahabat Herman (RTK XXXIV/Masa Khidmat 2003-2004)
- Sahabat Hasby As-Shiddiqy (RTK XXXV/Masa Khidmat 2004-2005)
- Sahabat M. Ikhsan Al-Farisy (RTK XXXVI/Masa Khidmat 2005-2006)
- Sahabat Wildan Ramadian (RTK XXXVII/Masa Khidmat 2006-Musyawarah)
- Sahabat Reva Arbano (PJS Rekomendasi Musyawarah-RTK XXXVIII)
- Sahabat A. Amin Mustofa (RTK XXXVIII/Masa Khidmat 2007-Musyawarah)
- Sahabat Andreansyah Syafi’i (PJS Rekomendasi Musyawarah-RTK XXXIX)
- Sahabat Adib Halim (RTK XXXIX/Masa Khidmat 2008-2009)
- Sahabat M. Rido Dinata (RTK XL/Masa Khidmat 2009-2010)
Semakin pesatnya perkembangan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta umumnya dan Fakultas Syariah dan Hukum pada
khususnya, sebagai organisasi ekstra kampus yang memcoba membangun
sistem intelektual organik, maka PMII KOMFAKSYAHUM juga meski turut
berbenah diri. Di Fakultas Syariah dan Hukum saat ini telah
mengembangkan beberapa jurusan baru, di mana PMII KOMFAKSYAHUM turut
menyesuaikan dengan perkembangan tersebut dengan mendirikan beberapa
Rayon yang kemudian menjadi sebuah keharusan untuk membenahi sistem
kaderisasi internal PMII KOMFAKSYAHUM. Saat ini PMII KOMFAKSYAHUM
memiliki beberapa Rayon, diantaranya:
1. Rayon Ahwal Al-Syahsiyyah
- Peradilan Agama
- Administrasi Keperdataan Islam
2. Rayon Jinayah-Siyasah
- Hukum Pidana Islam (Jinayah Syar’iyyah)
- Hukum Tata Negara Islam (Siyasah Syar’iyyah)
3. Rayon Perbandingan Madzab dan Hukum
- Perbandingan Hukum
- Perbandingan Madzab Fikih
- Perbandingan Madzab dan Hukum (Internasional)
4. Rayon Muamalat
- Perbankan Syari’ah
- Asuransi Syari’ah
- Manajemen Zakat dan Wakaf
5. Rayon Ilmu Hukum
Dengan usia yang semakin matang tersebut,
semoga PMII KOMFAKSYAHUM semakin mapan dan konsisten dalam
memperjuangkan cita-cita PMII sesuai dengan harapan Nilai Dasar
Pergerakan (NDP) PMII, tetap menjaga dan memegang teguh Islam Ahlussunnah Wal Jamaah
sebagai sumber kerangka berfikir serta tetap mengedepankan nilai-nilai
pluralitas berbangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Choirie A. Effendy, Choirul Anam, Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi, Majelis NU Aula Jawa Timur,1991.
Wahid, Nusron, Membongkar Hegemoni NU di Balik Independensi PMII, PT Bina Rena Pariwara, Jakarta 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar