Bak
potret raksasa dalam sebuah bingkai histori. Bangunan megah berdiri
dengan nuansa yang khas menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di
kawasan seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat Pendopo Agung dengan
ornamen khas berlatar bangunan tua yang tak kalah gagah memancarkan
kharisma. Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya,
menambah kokoh dan sakral nuansa yang terpancar dari warisan para raja
yang dulu pernah berkuasa.
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta
keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari 200
tahun itu tetap terjaga. Sumenep setelah berubah secara birokrasi dan
mulai dipimpin oleh seorang bupati setelah masa raja Panembahan
Notokusumo II (1854-1879) menganggap warisan sisa masa keemasan itu
sebagai sebuah kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
Bangunan-bangunan di kawasan keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali
pada bagian belakang, menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah
dinas bupati, berlawanan dengan keraton. Sementara pendopo kini kerap
difungsikan untuk acara rapat-rapat para aparat pemerintahan, hingga
pagelaran seni dan budaya setempat.
Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya bagian
lantai yang telah dirubah karena rusak. Semula berlantai marmer kini
keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih dari dua
abad pernah dilakukan perbaikan namun hanya pada bagian gentingnya.
Selain itu pengecatan tetap dilakukan pada bagian dinding agar tetap
kelihatan cerah.
Bangunan utama keraton terdiri dari dua lantai. “Lantai atas merupakan
tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum datangnya
hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab Museum Keraton
Sumenep. Menurut pria 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak
di lantai bawah terdapat empat kamar yang masing-masing diperuntukkan
untuk kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang tua pria dan
orang tua perempuan raja.
Secara umum gaya arsitektural Keraton Sumenep merupakan perpaduan
antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China. Gaya Eropa tampak pada
pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China bisa dilihat pada
ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil ukiran bergambar Burung Hong, yang
konon merupakan lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China.
Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga
Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada pilihan warna
Merah dan Hijau.
Salah seorang arsitek pembangunan keraton bernama Lauw Piango, yang
setelah meninggal di kebumikan di sekitar Asta Tinggi (komplek makam
raja Sumenep dan keturunannya) adalah pria berkebangsaan China. Bahkan
konon yang mengepalai tukang saat pembangunan keraton adalah orang
China, bernama Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana
dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan.
Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat
berpindah-pindah. Konon pada masa awal yang dipimpin oleh Raja Aria
Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada di Desa
Banasare, Kecamatan Rubaru. lalu keraton juga pernah pindah ke daerah
Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460).
Beberapa daerah lain juga diindikasi sebagai keraton Sumenep, seperti
Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan daerah lain sebelum
akhirnya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang. Di Desa
Pajagalan yang merupakan warisan sejak raja, yaitu Panembahan Somala dan
enam raja berikutnya.
Panembahan Somala berinisiatif membangun katemenggungan atau kadipaten
ini setelah selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah.
Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi.
Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, sisi Timur adalah Taman
Lake’, ini menurut Romli, masih merupakan anak sumber air dari Taman
Sare yang berada di sekitar keraton. Sayang, tempat ini sekarang sudah
ditutup karena difungsikan sebagai sumber air PDAM Sumenep. Sebelah
Utara hingga monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman
sekarang. Dan sisi Barat hingga bagian belakang Masjid Agung (Jami’)
Sumenep sekarang.
Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang
dibangun oleh raja Pangeran Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah
Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam bahasa Indonesia berarti
Lama. Masjid Jami’ sebelumnya merupakan masjid keraton yang eksklusif
untuk raja dan kalangan kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat
Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-redesign menjadi Taman Bunga Kota
Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum.
Pagar keraton yang ada sekarang adalah peninggalan masa R. Tumenggung
Aria Prabuwinata. Sebelum diganti dengan bilah besi yang berujung mata
tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi lebih dari dua
meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di
belakang keraton, tepat di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar
itu kini dijaga sebagai Monumen bukti sejarah Keraton Sumenep.
Bangunan yang dipakai kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu
sebenarnya bukan bagian dari keraton, dulu dikenal dengan sebutan Gedong
Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep. Bangunan bergaya Eropa
ini didirikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di
tanah air. Kehadiran gedung tepat di depan keraton itu memang mengganggu
kharisma keraton secara keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep
menjadi terhalang.
(sumber : sejarah sumenep )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar